Selasa, 21 Maret 2017

Si Gadis Asing (Bersama Rindu dan Mimpi)




Ini bukanlah tentang cerita sedih. Ini hanyalah ungkapan seorang anak petani desa kurang berkembang. Ya, desa kami memang seperti desa yang kurang berkembang. Masyarakatnya mayoritas buruh tani dan pedangan dadakan dan tak tentu pendapatannya. Banyak dari cerita yang ku dengar dari penduduk desa tetangga bahwa desa kami tidaklah cukup pesat dalam perkembangannya.

Meskipun ada stempel tersebut, tapi entah mengapa separuh hati ini tertinggal di desa itu. sebenarnya perasaan jenis apa yang hinggap. Apakah perasaan rindu? Lalu, rindu yang seperti apa? Rindu yang bagaimana?  

Rindukah aku dengan cuaca panas yang menyengatnya kulit ku? Rindukah aku dengan debu yang menutupi jalan kala tak ada hujan yang mengguyur, hingga sesak nafas ini tatkala melewati jalanan berdebu itu?  Rindukah aku dengan suara sahutan anak-anak mengaji? Rindukah aku dengan pemandangan lalu lalang manusia yang menyesaki pasar? Rindukah aku dengan jajanan pasarnya yang murah itu? Ataukah ada rindu lain yang sedang menapaki hatiku?

Namun, setelah ku ingat, aku tak memiliki memori indah tentang desa itu kecuali pertemuanku dengan kekasihku. Mungkinkan aku rindu orang itu? Orang yang membuatku berfikir dua kali ketika hendak menyerah. Orang yang rela menunda impiannya demi terwujudnya mimpi ku. Orang yang setia dan sabar menunggu kabarku. Orang yang selalu menyisipkan namaku dalam setiap doanya.

Di sebut pertemuan karena sebenarnya aku memanglah jarang bersua dan tidak tinggal satu atap dengannya. Jarak, kesempatan, dan takdirlah yang menghalangi kami bersua dalam kurun waktu tertentu. Hingga saat waktu itu tiba, aku tetap tak mampu untuk memilih hidup bersamanya. Bahkan andaikan aku di berikan kesempatan untuk memilih, aku pun tetap tak akan mampu untuk memilih.. Hingga aku sadari ternyata ini memang pilihan Tuhan. Dan aku percaya, pilihan-Nya tak pernah salah.

Meskipun tak memiliki waktu yang cukup untuk saling bercerita, tapi aku merasa ada talian yang membuatku selalu ingin merindunya. Sepertinya ini termasuk jenis talian batin yang tak terucapkan. Tak teucapkan, karena aku memang tipe manusia yang hemat bicara. Aku lebih senang menggunakan indera pendengaranku ketimbang memproduksi ujaran. Orang-orang menganggapku si gadis pendiam.

Selain dianggap pendiam, aku juga dianggap gadis asing. Tak ada orang yang mengenaliku dengan baik. Setiap kali aku berjalan beriringan dengan kekasihku, aku selalu saja menjadi bahan pertanyaan orang-orang. “siapakan gerangan? Mengapa aku tak pernah melihat sebelumnya?” aku tak pernah berkomentar dengan pertanyaan itu, hanya seulas senyum yang mengembang dari bibirku dan ku anggap itu sebagai jawabanku. Aku hanya berbisik dalam hati, “begitu asingkah diriku? Bukankah aku telah sering ke desa ini meski hanya dalam singkat waktu?”

Nostalgia akan desa itu yang membuatku bersemangat untuk belajar. Belajar agar aku dapat menjadi orang yang bermanfaat. Hingga ada sesuatu yang dapat ku berikan untuk desa itu, meskipun aku masih saja dianggap asing. Atau, paling tidak, apa yang kiranya dapat kuberikan untuk kekasihku.

Aku ingin memberikan apa yang mampu ku berikan. Aku ingin memberikan sesuatu yang membuat kekasihku mengembangkan senyumnya. Ya, aku benar-benar ingin melihat senyum merekah darii bibirnya. Aku sungguh rindu senyuman itu.

Sesuatu itu, kini sedang ku usahakan, ku giatkan, ku lakukan, dan tentunya ku doakan. sesuatu itu adalah sebuah mimpi yang sedang ku bangun. Bahkan mungkin ini baru mencapai tahap awal darii pembangunannya. Namun aku tak peduli akan jadi seperti apa mimpiku itu. Yang ku pedulikan adalah seberapa kuat usaha dan doaku untuk mimpiku itu.
Aku sering berujar, “Mimpi- mimpi hadirlah dalam nyata ku. Jika kau tak ingin hadir karena buruknya diriku, hadirlah untuk kekasihku.”




.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masuk angin

Angin tiba tiba menyelinap ke dalam pori memasuki ruang-ruang kosong, menyesaki paru hingga sesak untuk dihembuskan. Menerawang jauh de...