Ini bukanlah tentang cerita sedih.
Ini hanyalah ungkapan seorang anak petani desa kurang berkembang. Ya, desa kami
memang seperti desa yang kurang berkembang. Masyarakatnya mayoritas buruh tani
dan pedangan dadakan dan tak tentu pendapatannya. Banyak dari cerita yang ku
dengar dari penduduk desa tetangga bahwa desa kami tidaklah cukup pesat dalam
perkembangannya.
Meskipun ada stempel tersebut,
tapi entah mengapa separuh hati ini tertinggal di desa itu. sebenarnya perasaan
jenis apa yang hinggap. Apakah perasaan rindu? Lalu, rindu yang seperti apa?
Rindu yang bagaimana?
Rindukah aku dengan cuaca panas
yang menyengatnya kulit ku? Rindukah aku dengan debu yang menutupi jalan kala
tak ada hujan yang mengguyur, hingga sesak nafas ini tatkala melewati jalanan
berdebu itu? Rindukah aku dengan suara
sahutan anak-anak mengaji? Rindukah aku dengan pemandangan lalu lalang manusia
yang menyesaki pasar? Rindukah aku dengan jajanan pasarnya yang murah itu? Ataukah
ada rindu lain yang sedang menapaki hatiku?
Namun, setelah ku ingat, aku tak
memiliki memori indah tentang desa itu kecuali pertemuanku dengan kekasihku. Mungkinkan
aku rindu orang itu? Orang yang membuatku berfikir dua kali ketika hendak
menyerah. Orang yang rela menunda impiannya demi terwujudnya mimpi ku. Orang
yang setia dan sabar menunggu kabarku. Orang yang selalu menyisipkan namaku
dalam setiap doanya.
Di sebut pertemuan karena sebenarnya
aku memanglah jarang bersua dan tidak tinggal satu atap dengannya. Jarak,
kesempatan, dan takdirlah yang menghalangi kami bersua dalam kurun waktu
tertentu. Hingga saat waktu itu tiba, aku tetap tak mampu untuk memilih hidup
bersamanya. Bahkan andaikan aku di berikan kesempatan untuk memilih, aku pun
tetap tak akan mampu untuk memilih.. Hingga aku sadari ternyata ini memang
pilihan Tuhan. Dan aku percaya, pilihan-Nya tak pernah salah.
Meskipun tak memiliki waktu yang
cukup untuk saling bercerita, tapi aku merasa ada talian yang membuatku selalu
ingin merindunya. Sepertinya ini termasuk jenis talian batin yang tak
terucapkan. Tak teucapkan, karena aku memang tipe manusia yang hemat bicara.
Aku lebih senang menggunakan indera pendengaranku ketimbang memproduksi ujaran.
Orang-orang menganggapku si gadis pendiam.
Selain dianggap pendiam, aku juga
dianggap gadis asing. Tak ada orang yang mengenaliku dengan baik. Setiap kali
aku berjalan beriringan dengan kekasihku, aku selalu saja menjadi bahan
pertanyaan orang-orang. “siapakan gerangan? Mengapa aku tak pernah melihat
sebelumnya?” aku tak pernah berkomentar dengan pertanyaan itu, hanya seulas
senyum yang mengembang dari bibirku dan ku anggap itu sebagai jawabanku. Aku
hanya berbisik dalam hati, “begitu asingkah diriku? Bukankah aku telah sering
ke desa ini meski hanya dalam singkat waktu?”
Nostalgia akan desa itu yang
membuatku bersemangat untuk belajar. Belajar agar aku dapat menjadi orang yang
bermanfaat. Hingga ada sesuatu yang dapat ku berikan untuk desa itu, meskipun
aku masih saja dianggap asing. Atau, paling tidak, apa yang kiranya dapat
kuberikan untuk kekasihku.
Aku ingin memberikan apa yang
mampu ku berikan. Aku ingin memberikan sesuatu yang membuat kekasihku mengembangkan
senyumnya. Ya, aku benar-benar ingin melihat senyum merekah darii bibirnya. Aku
sungguh rindu senyuman itu.
Sesuatu itu, kini sedang ku
usahakan, ku giatkan, ku lakukan, dan tentunya ku doakan. sesuatu itu adalah
sebuah mimpi yang sedang ku bangun. Bahkan mungkin ini baru mencapai tahap awal
darii pembangunannya. Namun aku tak peduli akan jadi seperti apa mimpiku itu.
Yang ku pedulikan adalah seberapa kuat usaha dan doaku untuk mimpiku itu.
Aku sering berujar, “Mimpi- mimpi
hadirlah dalam nyata ku. Jika kau tak ingin hadir karena buruknya diriku,
hadirlah untuk kekasihku.”
.