A.
Pengertian
Kurikulum
Dalam
PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara
yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan tertentu (2007:3)
Senada dengan pengertian di atas, Oemar Hamalik (1990:32) menyatakan bahwa
kurikulum adalah suatu alat yang amat penting dalam rangka merealisasi dan
mencapai tujuan pendidikan sekolah. Dalam arti luas kurikulum dapat diartikan
sesuatu yang dapat mempengaruhi siswa, baik dalam lingkungan sekolah maupun luar
sekolah. Namun, kurikulum haruslah direncanakan agar pengaruhnya terhadap siswa
benar-benar dapat diamati dan diukur hasilnya. Adapun hasil–hasil belajar
tersebut haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, sejalan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, relevan dengan kebutuhan sosial
ekonomi dan sosial budaya masyarakat, sesuai dengan tuntutan minat, kebutuhan
dan kemampuan para siswa sendiri, serta sejalan dengan dengan proses belajar
para siswa yang menempuh kegiatan-kegiatan kurikulum.
Kurikulum
adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh
suatu lembaga penyelenggara pendidikan
yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran
dalam satu periode jenjang pendidikan. Penyusunan perangkat mata pelajaran ini
disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan setiap jenjang pendidikan dalam
penyelenggaraan pendidikan tersebut serta kebutuhan lapangan kerja.[1]
Tak jauh berbeda dengan pendapat yang dikemukakan di atas, Soedijarto
mengemukakan bahwa kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang
direncanakan, diorganisasikan untuk ditaati para siswa untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah diterapkan untuk suatu lembaga pendidikan.
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum merupakan
seperangkat aturan yang berkaitan dengan tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang
disusun secara terencana sebagai pedoman
dalam pencapaian tujuan pendidikan serta disesuaikan dengan kebutuhan lapangan
kerja.
B.
Asas- Asas Kurikulum
Guru, sebagai pengembang kurikulum dalam skala mikro, perlu memahami
kurikulum dan asas-asas yang mendasarinya. Nasution menjelaskan bahwa ada empat
asas yang mendasari pengembangan kurikulum[2].
Keempat asas tersebut adalah:
a.
Asas filosofis.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan berperan dalam mendidik anak menjadi anak yang baik,
tentunya tidak hanya menjadi anak yang baik di lingkungan sekolah saja, tetapi
juga di lingkungan keluarga, negara, bahkan dunia. Kurikulum mempunyai hubungan
yang erat dengan filsafat suatu bangsa terutama dalam menentukan pribadi
manusia yang dicita-citakan, dalam hal ini melalui pendidikan formal. Asas
filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti dalam penyusunan kurikulum
hendaknya berdasar dan terarah pada falsafah bangsa yang dianut.
Dalam
penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu adalah filsafat pendidikan
Pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar dan pedoman, sedangkan pelaksanaannya
melalui pendidikan. Kurikulum yang dikembangkan harus mampu menjamin
terwujudnya tujuan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Jadi,
asas filosofis berkenaan dengan tujuan pendidikan yang sesuai dengan filsafat
negara. Perbedaan filsafat suatu negara menimbulkan implikasi yang berbeda di
dalam merumuskan tujuan pendidikan, menentukan bahan pelajaran dan tata cara
mengajarkan, serta menentukan cara-cara evaluasi yang ditempuh. Apabila
pemerintah bertukar, tujuan pendidikan akan berubah sama sekali. Di Indonesia,
penyusunan, pengembangan, dan pelaksanaan kurikulum harus memperhatikan Pancasila,
dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan
filosofis negara.
Nasution mengungkapkan
dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Kurikulum bahwa filsafat besar
manfaatnya bagi kurikulum, yakni:[3]
1.
filsafat pendidikan menentukan
arah ke mana anak-anak harus dibimbing. Sekolah ialah suatu lembaga yang
didirikan oleh masyarakat untuk mendidik anak menjadi manusia dan warga negara
yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Jadi, filsafat menentukan tujuan
pendidikan.
2.
Dengan adanya tujuan pendidikan
ada gambaran yang jelas tentang hasil pendidikan yang harus dicapai, manusia
yang bagaimana yang harus dibentuk.
3.
Filsafat juga menentukan cara dan
proses yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan itu.
4.
Filsafat memberikan kebulatan
kepada usaha pendidikan, sehingga tidak lepas-lepas. Dengan demikian terdapat
kontinuitas dalam perkembangan anak.
5.
Tujuan pendidikan memberikan
petunjuk apa yang harus dinilai dan hingga mana tujuan itu telah tercapai.
6.
Tujuan pendidikan memberi motivasi
dalam proses belajar-mengajar, bila jelas diketahui apa yang ingin dicapai.
b.
Asas Psikologis
1.
Psikologi Anak
Sekolah sebagai
institusi yang bergerak dibidang pendidikan didirikan untuk mengayomi kepentingan anak, yakni menciptakan
situasi-situasi yang memungkinkan anak dapat belajar mengembangkan bakatnya.
Selama berabad-abad, anak tidak dipandang sebagai manusia yang lain daripada
orang dewasa. Hal ini tampak dari kurikulum yang mengutamakan bahan, sedangkan
anak “dipaksa” menyesuaikan diri dengan bahan tersebut dengan segala
kesulitannya. Padahal anak mempunyai kebutuhan sendiri sesuai dengan
perkembangannya. Pada permulaan abad ke-20, anak kian mendapat perhatian yang
menjadi salah satu asas dalam pengembangan kurikulum.
Kemudian
muncullah aliran progresif, yakni kurikulum yang semata-mata didasarkan atas
minat dan perkembangan anak (child centered curiculum). Kurikulum ini
dapat dipandang sebagai reaksi terhadap kurikulum yang diperlukan orang dewasa
tanpa menghiraukan kebutuhan anak.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum adalah:
·
Anak bukan
miniatur orang dewasa
·
Fungsi sekolah
diantaranya mengembangkan pribadi anak seutuhnya
·
Faktor anak
harus benar-benar diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
·
Anak harus
menjadi pusat pendidikan atau sebagai subjek belajar dan bukan objek
belajar
·
Tiap anak unik,
mempunyai ciri-ciri tersendiri, lain dari yang lain. Kurikulum hendaknya
mempertimbangkan keunikan anak agar ia sedapat mungkin berkembang sesuai dengan
bakatnya
·
Walaupun tiap
anak berbeda dari yang lain, banyak pula persamaan di antara mereka. Maka
sebagian dari kurikulum dapat sama bagi semua.
2. Psikologi
Belajar
Pendidikan
disekolah diberikan dengan kepercayaan dan keyakinan bahwa anak – anak dapat di
didik. Anak – anak dapat belajar, dapat menguasai sejumlah pengetahuan, dapat
mengubah sikapnya, dapat menerima norma- norma, dapat mempelajari macam – macam
keterampilan. Kurikulum dapat di susun dan disajikan dengan jalan yang
seefektif –efektifnya agar proses keberlangsungan belajar berjalan dengan baik.[4]
Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar
mengajar. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara kurikulum dan
psikologi belajar juga psikologi anak. Karena hubungan yang sangat erat itu
maka psikologi menjadi salah satu dasar kurikulum.[5]
Pentingnya penguasaan psikologi belajar dalam
pengembangan kurikulum antara lain diperlukan dalam hal:
1. Seleksi dan organisasi bahan pelajaran
2.
Menentukan
kegiatan belajar mengajar yang paling serasi
3.
Merencanakan
kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai. (Nasution,
2008:57)
Asas psikologi berarti kegiatan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat
psikologi. Manusia sebagai makhluk yang bersifat unitas multiplex yang
terdiri atas sembilan aspek psikologi yang kompleks tetapi satu. Aspek-aspek
tersebut dikembangkan dengan perantara berbagai mata pelajaran yang tercantum
dalam kurikulum sebagai berikut:
1. Aspek
ketakwaan: Dikembangkan dengan kelompok bidang agama.
2. Aspek cipta: Dikembangkan
dengan kelompok bidang studi ekstra, sosial, bahasa, dan filsafat.
3. Aspek rasa: Dikembangkan
dengan kelompok bidang studi seni.
4. Aspek karsa: Dikembangkan
dengan kelompok bidang studi etika, budi pekerti, agama, dan PPKN.
5. Aspek karya (kreatif): Dikembangkan
melalui kegiatan penelitian, independen studi, dan pengembangan bakat.
6. Aspek karya
(keprigelan): Dikembangkan dengan berbagai mata pelajaran keterampilan.
7. Aspek
kesehatan: Dikembangkan dengan kelompok bidang studi kesehatan dan
olahraga.
8. Aspek sosial: Dikembangkan
melalui kegiatan praktek lapangan, gotong royong, kerja bakti, KKN, PPL, dan
sebagainya.
9. Aspek karya: Dikembangkan
melalui pembinaan bakat dan kerja mandiri.
c. Asas
Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan
antar individu, golongan, lembaga sosial atau masyarakat.
Dunia sekitar merupakan lingkungan hidup bagi manusia. Masyarakat merupakan
kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama hingga mereka mengatur diri
mereka sendiri dan menganggap sebagai suatu kesatuan sosial.
Sekolah adalah institusi sosial yang
didirikan dan ditujukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Maka
kurikulum sekolah dalam penyusunan dan pelaksanaan banyak dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial yang berkembang dan selalu berubah di dalam
masyarakat.
Dalam membina
kurikulum, kita sering kali menemui kesulitan tentang bentuk-bentuk kebudayaan
mana yang patut disampaikan serta kearah mana proses sosialisai tersebut ingin
dikontruksi sesuai dengan tuntutan masyrakat. Masyarakat mempunyai norma-norma,
ada kebiasaan yang mau tidak mau harus dikenal dan diwujudkan anak-anak dalam
kelakuannya.
Dalam hal ini
juga harus dijaga keseimbangan antara kepentingan anak sebagai individu
dengan kepentingan anak sebagai anggota masyarakat, dan ini dapat dicapai
apabila dicegah kurikulum yang semata mata bersifat suciety-centered. Landasan
sosial budaya ternyata bukan hanya semata-mata digunakan dalam mengembangkan
kurikulum pada tingkat nasional, melainkan juga bagi guru dalam pembinaan
kurikulum tingkat sekolah atau bahkan tingkat pengajaran.[6]
d.
Asas
Organisatoris
Asas ini mengenai bentuk penyajian
bahan pelajaran, yakni organisasi kurikulum. Ilmu jiwa asosiasi yang menganggap
bahwa keseluruhan jumlah sebagian kurikulum merupakan mata pelajaran yang
terpisah – pisah, yang mempunyai keuntungan dan juga kelemahan. Menurut
Gestalt, prinsip keseluruhan mempengaruhi organisasi kurikulum yang telah di
susun secara unit, tidak diadakan batasan antar mata pelajaran.[7]
Dilihat dari
organisasinya, ada tiga kemungkinan tipe bentuk kurikulum:[8]
a.
Kurikulum yang
berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, (separatet subjec curriculum).
b.
Kurikulum yang
berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis dihubung-hubungkan (correlated
curiculum).
c.
Kurikulum yang
terdiri dari peleburan semua / hampir semua maka pelajaran (integrated
curriculum).
Pada seperated subjeck curriculum,
bahan dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, sehingga banyak jenismata
pelajaran dan menjadi sempit ruang lingkupnya.sedangkan correlated curriculum
mata pelajaran itu di hubungkan antara satu dengan yang lainya, sehingga tidak
berdiri sendiri – sendiri pada separated subject curriculum dan ini
dibuat sebagai reaksi terhadap kurikulum yang di anggap kurang sempurna. Pada integrated
curriculum, kurikulum dipadukan secara menyeluruh dan dalam kesatuan, dan
diharapkan dapat membentuk manusia yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution,
S. 2008. Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Zein,
Muhammad. 1991. Asas dan Pengembangan Kurikulum. Yogyakarta: Sumbangsih Offset.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kurikulum
http://ancharyu.wordpress.com/2010/02/25/asas-pengembangan kurikulum/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar