2.1 Pengertian Mencuri
Mencuri
adalah perbuatan mengambil harta orang
lain tanpa seizin pemiliknya (secara diam-diam ), dengan maksud untuk memiliki.[1] Tindakan tersebut dilakukan secara sadar atau dengan niat
ingin memiliki. Menurut ulama fiqh, pencurian diartikan sebagai tindakan
mengambil harta milik orang lain yang
bernilai, dalam simpanan secara diam-diam.[2] Kejahatan
mencuri atau as-Sariqah telah
disinggung dalam Al- Qur’an surat Al-Maidah ayat 38 dimana pelakunya dijatuhi
hukuman potong tangan.
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Syarat pelaksanaan potong tangan[3]
a.
Pencurinya
sudah baligh,berakal,mukallaf, baik dzimmi maupun muslim.
b.
Tidak ada
syubhat adanya hak bagi pencuri dalam harta yang dicuri, misalnya yang dicuri
adalah harta ayahnya, anaknya, atau mitra kerjanya (syarik), atau harta baitul
mal.
c.
Harta yang
dicuri adalah telah mencapai nishbahnya, sesuai sabda Nabi SAW “Tidak
dipotong tangan (pencuri) kecuali dalam seperempat dinar atau lebih” Dinar
disini adalah dinar syar’i dari emas sebesar 4,25 gram.
d.
Harta yang
dicuri adalah harta yang ada di tempat penyimpanan seperti rumah atau toko atau
kotak
e.
Harta yang
dicuri adalah harta terhormat yakni terdapat izin al-syar’i untuk memilikinya.
Tidak ada hukum potong tangan bagi seorang muslim yang mencuri babi atau
khamr. Tapi jika yang mengambil adalah seorang nasrani maka dijatuhkan hukum
potong tangan padanya sebab syariat membolehkan mereka untuk memiliki khamr.
f.
Pencurian
dibuktikan dengan adanya pengakuan dan kesaksian dua laki-laki adil
g.
Harta diambil
dengan cara sembunyi-sembunyi atau diam-diam. Orang yang merampok atau
mengkorupsi harta tak dianggap pencuri. Sabda Rasulullah “Tidak ada bagi
penghianat, perampok, dan pengkorup hukuman potong tangan” meski
demikian, yang bersangkutan tetap akan dijatuhi hukuman ta’zir yang dapat
juga berbentuk potong tangan
h.
Tidak ada hukum
potong tangan terhadap pencuri buah-buahan yang diambil untuk dimakan walaupun
nilainya mencapai nishbah harta pencurian (1/4 dinar)
Dari keterangan diatas telah jelas diterangkan bahwa hukuman atas pencurian
adalah di potong tangan. Adapun syarat-syarat pelaksanaan hukuman adalah pencuru
tersebut telah terbukti dan tidak ditemukannya adanya syubhat.
Namun terdapat hal yang dapat menghalangi pelaksanaan hukuman meskipun
hakim telah memutuskan bersalahnya pelaku berdasarkan bukti-bukti.[4]
Hal tersebut antara lain:
a.
Pencuri menolak
pengakuan pencuri (jika alat bukti yang ada hanya pengakuan).
b.
Saksi mencabut
kesaksiannya (jika alat bukti ayng ada hanya kesaksian).
c.
Saksia yang
mengajukankesaksian tidak memenuhi syarat.
2.2 Merampok
Dalam fiqh, perampok atau penyamun disebut begal atau pencegatan
karena kejahatan ini biasa dilakukan di jalan-jalan atau jauh dari keramaian.
Menurut istilah
syarak, penyamun adalah perampasan harya benda atau nyawa dengan cara
kekerasan atau menggunakan senjata untuk mengancam dan menakut nakuti
dengan cara terang-terangan dan paksaan, baik oleh perorangan maupun sekelompok
orang.
Dasar hukum yang dikenakan pada penyamun telah dijelaskan pada surah
al-Ma’idah ayat 33.
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا
أو
تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم
خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم
Artinya:
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat
kerusakan dibumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau potong kaki dan tangan
mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian
itu, kehinaan mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapakan azab yang
besar.(Q.S. al-Ma’idah/5:33).
Dalam ayat tersebut
telah jelas disebutkan bahwa hukuman bagi pelaku perampokan adalah dibunuh,
disalib, potong kaki dan tangan atau diasingkan, namun ara imam mazhab berbeda
pendapat mengenai hukuman yang dijatuhkan bagi perampok yang melakukan
perampasan dijalan. Menurut imam Hanafi, Hambali dan Syafi’i, penjatuhan
hukuman harus sesuai dengan tertib urutan dalam Al-Qur’an. Sedangkan menurut
Maliki, hukuman dijatuhkan berdasarkan ijtihad hakim, yakkni boleh dibunuh,
disalib, dipotong tangan dan kakinya secara persilang, daisingkan atau
dipenjarakan.[5]
Selain berbeda
pandangan mengenai tertib urutan dalam al-qur’an, para imam mazhab juga berbeda
pendapat dalam tata caranya. Menurut
Hanafi jika mereka mengambil harta dan membunuh maka hakim boleh memilih antara
memotong tangan dan kaki secara bersilang, membunuh atau menyalibnya.
Menurut Syafi’i dan Hambali, jika perampok
tersebut sebelumnya belum sempat membunuh atau merampas harta maka mereka
diasingkan (dipenjara di tempat pengasingan). Jika mereka sudah pernah merampas
tati belum membunuh maka dipotong satu tangan dan satu kakinya. Sedangkan jika
mereka sudah merampas dan membunuh maka dijatuhi hukuman dibunuh serta disalib.[6]
Para pelaku
perampokan yang pernah membunuh atau merampok wajib dikenai hukuman had,
walaupun wali korban memaafkan, pelaku tetap tidak terbebas dari hukuman.
2.3 Pemberontakan
Pemberontakan dalam bahasa arab disebut Baghyu yang berasal dari kata Bagha
yang berarti menuntut sesuatu.
Syarifudin mendefinisikan baghyu sebagai perlawanan yang silakukan
sekelompok orang terhadap penguasa dengan menggunakan kekuatan.[7] Yang
dimaksud dengan penguasa diatas adalah penguasa yang sah, adil dan mematuhi
syara’. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang artinya “ketika urusanmu telah
diserahkan pengurusannya kepada satu kekuasaan dan datang kepadamu yang lain
untuk mematahkan kekuasaaan dan mencerai-beraikan urusanmu, bunuhlah dia”
Firman Allah SWT.
يا أيها الذين آمنوا
أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول
إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Umat islam yang tidak mematuhi perintah ulil amri yang sah dan adil berarti
telah menyalahi perintah Allah, oleh karena itu, mereka disebut durhaka dan
pantas mendapat celaan dari Allah. Apabila kedurhakaan tersebut delakukan
dengan jalan kekerasan, kekuatan bersenjata secara terorganisir dengan adanya
pemimpin maka perbuatan tersebut termasuk dalam al-baghyu.[8] Pelaku
pemberontakan tersebut digolongkan sebagai pelaku maksiat yang dikenai hukuman
fisik didunia.
Syaikh al-Allamah pun menjelaskan dalam bukunya Fiqh Empat Mazhab
bahwa “Apabila sekelompok orang yang berkekuatan keluar dari jamaah kaum
muslim, atau tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka mempunyai alasan yang
tidak jelas, maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah
Swt. [9]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar