Minggu, 15 Juni 2014

HUDUD (MENCURI, MERAMPOK, PEMBERONTAK)




2.1 Pengertian Mencuri
Mencuri adalah perbuatan mengambil harta orang lain tanpa seizin pemiliknya (secara diam-diam ), dengan maksud untuk memiliki.[1] Tindakan tersebut dilakukan secara sadar atau dengan niat ingin memiliki. Menurut ulama fiqh, pencurian diartikan sebagai tindakan mengambil harta milik orang lain yang  bernilai, dalam simpanan secara diam-diam.[2] Kejahatan mencuri atau as-Sariqah telah disinggung dalam Al- Qur’an surat Al-Maidah ayat 38 dimana pelakunya dijatuhi hukuman potong tangan.
والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما جزاء بما كسبا نكالا من الله والله عزيز حكيم
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Syarat pelaksanaan potong tangan[3]
a.       Pencurinya sudah baligh,berakal,mukallaf, baik dzimmi maupun muslim.
b.      Tidak ada syubhat adanya hak bagi pencuri dalam harta yang dicuri, misalnya yang dicuri adalah harta ayahnya, anaknya, atau mitra kerjanya (syarik), atau harta baitul mal.
c.       Harta yang dicuri adalah telah mencapai nishbahnya, sesuai sabda Nabi SAW “Tidak dipotong tangan (pencuri) kecuali dalam seperempat dinar atau lebih” Dinar disini adalah dinar syar’i  dari emas sebesar 4,25 gram.
d.      Harta yang dicuri adalah harta yang ada di tempat penyimpanan seperti rumah atau toko atau kotak
e.       Harta yang dicuri adalah harta terhormat yakni terdapat izin al-syar’i untuk memilikinya. Tidak  ada hukum potong tangan bagi seorang muslim yang mencuri babi atau khamr. Tapi jika yang mengambil adalah seorang nasrani maka dijatuhkan hukum potong tangan padanya sebab syariat membolehkan mereka untuk memiliki khamr.
f.       Pencurian dibuktikan dengan adanya pengakuan dan kesaksian dua laki-laki adil
g.      Harta diambil dengan cara sembunyi-sembunyi atau diam-diam.  Orang yang merampok atau mengkorupsi harta tak dianggap pencuri. Sabda Rasulullah Tidak ada bagi penghianat, perampok, dan pengkorup hukuman potong tangan” meski demikian, yang bersangkutan  tetap akan dijatuhi hukuman ta’zir yang dapat juga berbentuk potong tangan
h.      Tidak ada hukum potong tangan terhadap pencuri buah-buahan yang diambil untuk dimakan walaupun nilainya mencapai nishbah harta pencurian (1/4 dinar)
Dari keterangan diatas telah jelas diterangkan bahwa hukuman atas pencurian adalah di potong tangan. Adapun syarat-syarat pelaksanaan hukuman adalah pencuru tersebut telah terbukti dan tidak ditemukannya adanya syubhat.
Namun terdapat hal yang dapat menghalangi pelaksanaan hukuman meskipun hakim telah memutuskan bersalahnya pelaku berdasarkan bukti-bukti.[4] Hal tersebut antara lain:
a.       Pencuri menolak pengakuan pencuri (jika alat bukti yang ada hanya pengakuan).
b.      Saksi mencabut kesaksiannya (jika alat bukti ayng ada hanya kesaksian).
c.       Saksia yang mengajukankesaksian tidak memenuhi syarat.
2.2 Merampok
Dalam fiqh, perampok atau penyamun disebut begal atau pencegatan karena  kejahatan ini biasa dilakukan di jalan-jalan atau jauh dari keramaian.
Menurut istilah syarak, penyamun adalah perampasan harya benda atau nyawa dengan cara kekerasan  atau menggunakan senjata untuk mengancam dan menakut nakuti dengan cara terang-terangan dan paksaan, baik oleh perorangan maupun sekelompok orang.
Dasar hukum yang dikenakan pada penyamun telah dijelaskan pada surah al-Ma’idah ayat 33.
إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فسادا أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع  أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم                               
Artinya:
Hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan dibumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau potong kaki dan tangan mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya. Yang demikian itu, kehinaan mereka didunia, dan di akhirat mereka mendapakan azab yang besar.(Q.S. al-Ma’idah/5:33).
Dalam ayat tersebut telah jelas disebutkan bahwa hukuman bagi pelaku perampokan adalah dibunuh, disalib, potong kaki dan tangan atau diasingkan, namun ara imam mazhab berbeda pendapat mengenai hukuman yang dijatuhkan bagi perampok yang melakukan perampasan dijalan. Menurut imam Hanafi, Hambali dan Syafi’i, penjatuhan hukuman harus sesuai dengan tertib urutan dalam Al-Qur’an. Sedangkan menurut Maliki, hukuman dijatuhkan berdasarkan ijtihad hakim, yakkni boleh dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya secara persilang, daisingkan atau dipenjarakan.[5]
Selain berbeda pandangan mengenai tertib urutan dalam al-qur’an, para imam mazhab juga berbeda pendapat dalam tata caranya.      Menurut Hanafi jika mereka mengambil harta dan membunuh maka hakim boleh memilih antara memotong tangan dan kaki secara bersilang, membunuh atau menyalibnya.
 Menurut Syafi’i dan Hambali, jika perampok tersebut sebelumnya belum sempat membunuh atau merampas harta maka mereka diasingkan (dipenjara di tempat pengasingan). Jika mereka sudah pernah merampas tati belum membunuh maka dipotong satu tangan dan satu kakinya. Sedangkan jika mereka sudah merampas dan membunuh maka dijatuhi hukuman dibunuh serta disalib.[6]
Para pelaku perampokan yang pernah membunuh atau merampok wajib dikenai hukuman had, walaupun wali korban memaafkan, pelaku tetap tidak terbebas dari hukuman.
2.3  Pemberontakan
Pemberontakan dalam bahasa arab disebut Baghyu yang berasal dari kata Bagha yang berarti menuntut sesuatu.  Syarifudin mendefinisikan baghyu sebagai perlawanan yang silakukan sekelompok orang terhadap penguasa dengan menggunakan kekuatan.[7] Yang dimaksud dengan penguasa diatas adalah penguasa yang sah, adil dan mematuhi syara’. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang artinya “ketika urusanmu telah diserahkan pengurusannya kepada satu kekuasaan dan datang kepadamu yang lain untuk mematahkan kekuasaaan dan mencerai-beraikan urusanmu, bunuhlah dia”
Firman Allah SWT.
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم في شيء                           فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Umat islam yang tidak mematuhi perintah ulil amri yang sah dan adil berarti telah menyalahi perintah Allah, oleh karena itu, mereka disebut durhaka dan pantas mendapat celaan dari Allah. Apabila kedurhakaan tersebut delakukan dengan jalan kekerasan, kekuatan bersenjata secara terorganisir dengan adanya pemimpin maka perbuatan tersebut termasuk dalam al-baghyu.[8] Pelaku pemberontakan tersebut digolongkan sebagai pelaku maksiat yang dikenai hukuman fisik didunia.
Syaikh al-Allamah pun menjelaskan dalam bukunya Fiqh Empat Mazhab bahwa “Apabila sekelompok orang yang berkekuatan keluar dari jamaah kaum muslim, atau tidak taat kepada pemimpinnya, dan mereka mempunyai alasan yang tidak jelas, maka mereka boleh diperangi sehingga kembali kepada perintah Allah Swt. [9]
           



[1] http://syarotul-muktadil.blogspot.com/2012/03/hudud.html (5 April 2014)
[2] Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar Fiqh, Kencana, Jakarta, 2003, h. 299.
[3] http://kimia10ratna.blogspot.com/2011/04/jenis-uqubat.html#comment-form  (5 April 2014)
[4] Amir Syarifudin, Opcit, h. 304.
[5] Syaikh al-Alamah Muhammad, Fiqh Empat Mazhab, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki, Hasyimi, Bandung, 2012,h. 444.
[6] Ibid, h. 446.
[7] Amir Syarifudin, Opcit, h. 311
[8] Amir Syarifudin, Opcit, h. 313.                     
[9] Syaikh al-Alamah Muhammad, op.cit, h. 427.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masuk angin

Angin tiba tiba menyelinap ke dalam pori memasuki ruang-ruang kosong, menyesaki paru hingga sesak untuk dihembuskan. Menerawang jauh de...