Minggu, 15 Juni 2014

Aku dan Jalan yang Berkelok

Merah padma

Hitam legam

Terang-terangan hingga terlalu

Ketidakjelasan terpancar

Putih abu-abu

Merah muda pesona romantika

Hitam putih

Saling membelakang

Goresan tinta kehidupan

berubah layaknya spektrum warna yang terbias

aku dan jalan yang berkelok

MA'RIFAT



A.      Pengertian Ma’rifat
Istilah Ma`rifat  berasal dari kata “ Al-Ma`rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah ma`rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu Maqam dalam Tasawuf. Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf, antara lain:
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan: "Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.
c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: "Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Dalam kitab “Syarhul Maqashid “ Taftazani menyatakan: “apabila seseorang telah mencapai tujauan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga zatnya selalu dalam  pengawasan zat Tuhan dan sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut fana dan lenyap  dalam keadaan “ma siwallah” (segala yang lain daripada Allah) ia tidak lagi melihat dalam wujud alam ini kecuali Allah.
Orang yang mencapai maqam ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar mengetahui Tuhan itu ada.
Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih).
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan, merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi.
Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan, indah, utama  dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi: “Bahwa  hatilah yang dapat mencapai haqiqat sebagaimana yang telah tertulis pada Lauh Mahfudh, yaitu hati yang sudah bersih dan suci murni. Wal hasil, tempat untuk mengenal dan melihat Allah adalah Hati.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali, imam Al-Junaidi juga menekankan maqam kedekatan Qurb.  Imam al-Junaidi pernah berujar “Ketahuilah, sesungguhnya, Dia mendekati hati hamba-hamba-Nya sesuai dengan kedekatan hati hamba-hamba-Nya kepada-Nya maka perkatikanlah yang dekat di hatimu?”[1]
Fauqi Hajjaj menjelaskan bahwa “Semakin dekat intensitas seorang hamba mendekatkan diri kepada Tuhannya maka semakin bertambah pula kedekatan Allah kepada hatinya.”[2]
B.       Tingkatan dalam Ma’rifat
Sehubungan dengan adanya perbedaan tingkat ma’rifat dalm Aiqazhul Himam dijelaskan, bahwa tingkatan Ma’rifat kepada Allah ada tiga tingkat :
1. Ma’rifat dengan Allah
2. Marifat dengan dalil
3. Ma’rifat Ikut-ikutan (taklid)
Tingkat yang tertinggi dari ketiga tingkatan atu adalah ma’rifat kepada Allah. Untuk mereka yang mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah terdapat perbedaan-perbedaaan menurut ukuran apa yang telah terbuka buat mereka. Golongan inilah yang mencapai tingkat Waliyullah (Auliya).
Bermacam-macam karomah yang mereka dapatkan sesuai dengan tingkatan mereka disisi Allah. Yang mengetahui benar derajat kewalian itu hanyalah Allah sendiri atau orang yang mendapat pemberitahuan Allah tentang kewaliaan seseorang. Karomah-karomah bagi para wali detegaskan dalam hadist “Ketetapan Berbicara mengalir di lisan mereka” (HR.Bukhari).

Seseorang yang hanya sampai pada tingkat dua belum tentu dapat mengerti tentang kewaliaan seseorang yang berada tingkat kewalian yang pertama, kecuali ia mendapatkan ilham dari Allah. Adapun orang awam bisa mengerti kedudukan seseorang pada tingkat pertama itu karena adanya pemberitahuan dari tingkat yang lebih tinggi darinya.
Menurut Zunnun Ma’rifat terbagi  ke dalam tiga tingkatan yaitu:
1.      Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat.
2.      Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhan berdasarkan logika dan penalaran akal.
3.      Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari.
Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu.
Ma’rifat menurut Al-ghozali tidak seperti ma’rifat menurut orang awam maupun ma’rifat para ulama’, tetapi ma’rifat sufi dibangun atas dasar dzuq rohani dan kasyif ilahi. Ma’rifat semacam ini dapat di capai oleh para khawash auliah tanpa melalui perantara langsung dari Allah, sebagaimana ilmu kenabian yang langsung di perolah dari Allah, walaupun dari segi perolehan ilmu ini berbeda antara nabi dan wali.  Nabi mendapat ilmu Allah melalui perantara malaikat allah, sedangkan para wali mendapatkan ilmu dari ilham. Meskipun demikian, kedua-duanya sama-sama memperoleh ilmu dari Allah.
Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya.
menurut orang-orang makrifat dalam keadaan lapang ia banyak kekhawatirannya daripada dalam keadaan sempitnya. Sebab menurut mereka dalam keadaan lapang itu suatu kesempatan bagi hawa nafsu. Nah, dari sinilah mereka khawatir kalau nanti tertarik oleh ajakan hawa nafsu. Misalnya : selalu mempercaturkan  tentang berbagai kebendaan dunia, dan berbagai kekeramatan yang membikin aib dan risaunya hati dalm mengingat kapada Allah padahal bagi orang yang berma’rifat dia harus menghindar dari sifat tersebut untuk menjernihkan hati didalam menghadap Allah. Memang dalam keadaan lapang itu biasanya banyak manusia tergelincir olehnya, demikian sebaliknya dalam keadaan sempit bagi orang ma’rifat lebih mendekatkan kepada keselamatan.[3]


C.      Jalan Menuju Ma’rifat
Menurut al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah dan Reynold Alleyne Nicholson, ahli Mistisisme dalam Islam, dalam The Mystics of Islam ada tiga alat dalam tubuh manusia yang digunakan sufi untuk berhubungan dengan Tuhan, yaitu:
1.                     القلب qalbu (the heart) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan
2.                     الروح roh (ruh, the spirit) untuk mencintai Tuhan
3.                      السرّ sirr (inmost ground of the soul) untuk melihat Tuhan.
Dari ketiga alat tersebut, sirr merupakan alat yang peka dan lebih halus dari roh apalagi dari qalbu. Sir merupakan alat yang digunakan sufi untuk memperoleh ma’rifat. Sirr bertempat di ruh dan ruh bertempat di qalbu, maka sirr timbul serta dapat menangkap cahaya dari Allah SWT di kala ruh dan qalbu telah suci dan kosong dari segala sesuatu yang dapat mengganggunya.
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa, seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah kecuali tingkatan kehidupan yang sederhana sekedar menunjang kegiatan ibadah kepada Allah SWT. Hal ini juga dipertegas oleh imam Al-Junaidi, ia mengatakan bahwa “ibadah Bagi kaum ‘arif billah lebih baik daripada mahkota di kepala raja”.[4]

Memperoleh ma’rifat merupakan proses yang bersifat terus menerus. Makin banyak seorang sufi memperoleh ma’rifat, makin banyak pula yang diketahuinya tentang rahasia Tuhan dan semakin dekatlah ia kepada-Nya. Walaupun tersingkapnya tabir Tuhan memperlihatkan rahasia-Nya kepada seorang sufi, namun ma’rifat yang penuh tentang Tuhan tidak mungkin dapat dicapai oleh manuisa lantaran keterbatasan manusia, disamping kemutlakan Tuhan.
Al-Junaid al-Bagdadi, tokoh sufi modern, menyatakan: “cangkir the tak akan bisa menampung semua air yang ada di laut.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun seorang sufi berusaha secara kontinyu untuk memperoleh ma’rifat, tidak mungkin ia memperolehnya dalam arti yang penuh dan sempurna, sehingga semua rahasia hakikat ketuhanan dapat diketahuinya.
Hal yang perlu diperhatikan oleh para pelaku jalan tasawuf adalah membangun jalan tasawuf (ma’rifat) diatas fondasi Al-Qur’an dan Sunnah. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Junaidi dalam Tasawuf dan Akhlaq  karya Fauqi Hajjaj, bahwa “Jalan menuju Allah buntu dihadapan makhluk-Nya kecuali orang-orang yang mengikuti jejak Rasululah Saw”
 sebagaimana Firman Allah SWT: “Sesungguhnya telah ada pada Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS: Al-Ahzab(33): 21)[5]

Al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.[6]
D.      Ma’rifat dalam Al-Qur’an dan Hadist
Ma`rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hambanya, melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukan Tuhan kedalam hati seorang Sufi. dengan demikian ma`rifah berhubungan dengan Nur (cahaya  Tuhan). Di dalam Al-Qur`an dijumpai tidak kurang dari 43 kali kata Nur diulang dan sebagian besar dihubungakn dengan Tuhan.Misalnya ayat yang berbunyi:
`tBur óO©9 È@yèøgs ª!$# ¼çms9 #YqçR $yJsù ¼çms9 `ÏB AqœR ÇÍÉÈ  
Artinya:
“Dan Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun.”

& yyuŽŸ° ª!$# ¼çnuô|¹ Én=óM~Ï9 uqßgsù 4n?tã 9qçR `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4



Artinya:
“Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?” (QS: Az-Zumar (39:)22)
Dan ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata daapat diberikan Tuhan kepada hambanya yang ia kehendaki. Mereka  yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk  hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan kesesatan hidup.  Dalam ma`rifah kepada Allah, yang didapat oleh seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma`rifah sangat dimungkinkan terjadi didalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur`an.
Ma’rifat  juga sebenarnya telah dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-An’am 75-79 yang artinya “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: `Saya tidak suka kepada yang tenggelam`. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: `Inilah Tuhanku`. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: `Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat`. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: `Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar`, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: `Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”
Pada ayat tersebut dijelaskan lika-liku nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan yang sebenarnya. Akhirnya ia menjumpai tuhan yang sebenarnya yaitu Allah.
Inilah ma’rifatnya Ibrahim kepada Allah yang merupakan anugerah dari-Nya sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang besar dan ketenangan yang luar biasa.
Selanjutnya di dalam Hadis kita jumpai  Sabda Rasulullah: “Aku (Allah) perbendaharaan yang tersembunyi. aku ingin memperkenalkan siapa aku, maka aku ciptakan lah makhluk. Oleh  kerena itu aku memperkenalkan diriku kepada  mereka. Maka mereka itu mengenalku.” (Hadits Qudsi).
Hadis lain diriwayatkan oleh Sunan At-Tirmidzi dari Said dari Nabi Saw. Beliau bersabda: “Hati-hatilah dengan firasat seorang mukmin sebab ia melihat dengan Cahaya Allah.”[7]
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukan bahwa ma`rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.


[1] Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam dan Akhlaq, alih bahasa: Kamran As’ad Irsyadi dan Fakhri Ghazali, AMZAH, Jakarta, 2011, h.88.
[2] Ibid., h. 87.
[3] Mz,  Labib dan Maftuh Ahnan. Kuliah Ma’rifat. CV. Bintang Pelajar, h. 266-267

[4] Muhammad Fauqi Hajjaj, Op. Cit, h. 99.

[5] Ibid., h. 101
[6] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/12/05/24/lmxtj1-tokoh-sufi-syekh-ibnu-athaillah-penulis-kitab-alhikam (7 desember 2013)
[7] Muhammad Fauqi Hajjaj, Op. Cit, h. 202.

Masuk angin

Angin tiba tiba menyelinap ke dalam pori memasuki ruang-ruang kosong, menyesaki paru hingga sesak untuk dihembuskan. Menerawang jauh de...