Kamis, 28 Desember 2017

Membaca Kolom




Menepi dari pusaran thesis, saya sejenak menyisihkan waktu untuk membaca buku di luar topik akademis. Hal ini saya lakukan untuk charging energi, mengibur jiwa, dan merefleksikan kejadian-kejadian yang telah saya lalui. 

Buku bagi saya bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan ataupun runtutan informasi, tapi lebih kepada teman. Teman tidak selalu berwujud manusia, ia dapat berarti apa saja yang membuat saya tidak merasa sendiri. Hal ini tentu di luar konteks ke-Tuhan-an. Karena sudah barang tentu kalau sejatinnya kita tak pernah sendiri. Kita selalu bersama Dzat yang maha hidup, Allah SWT.


Menepi sejenak dari thesis
Kebanyakan buku yang saya baca bergenre cerita (novel, cerpen, ataupun kisah-kisah) namun kadangkala saya juga membaca buku yang berisi kolom-kolom yang membahas tentang fenomena-fenomena yang terjadi dewasa ini.  Setiap kolom berisi tema yang berbeda-beda bahkan terkadang tema-tema tersebut saling tidak nyambung.  Sebenarnya tidak semua tema dapat saya pahami maksud/atau pesannya, tapi terkadang saya berusaha untuk menyelami gaya penulisan yang di alirkan penulis dalam menyampaikan gagasannya, barangkali berangkat dari hal tersebut, pada akhirnya saya dapat memahami apa yang tersirat didalamanya. 

Pesan yang disampaikan penulis memang tidak selalu lugas. Penulis sering kali memakai bahasa retorik yang mbulet, bahasa yang penuh intrik. Inilah yang membuat saya acapkali kesulitan memahami maknanya,  saya butuh waktu untuk membacanya berulang-ulang 2-3 kali. Ini pula yang menyentil pikiran saya bahwa membaca bukan lah hal mudah. Padahal membaca sudah saya pelajari sejak taman kanak-kanak, dan tetap saya pelajari dan lakukan hingga kini. 

Menurut saya penggunaan bahasa retorik itu dimaksudkan untuk memberikan sense yang lebih mendalam terhadap pesan yang disampaikan. Hal itu dapat menggugah pikiran dan hati pembaca akan adanya fenomena tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin, kalau penulis sebenarnya ingin menanamkan gagasannya pada si pembaca. Entah gagasan itu akhirnya tertanam dengan baik atau tidak.  

Hal tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa  antara penulis dan pembaca biasanya memiliki ritme pikiran yang relatif sama, meski kita tidak bisa mengeneralisasikan hal tersebut. Mengapa saya beranggapan seperti itu, karena pembaca biasanya cenderung memilih bacaan yang sesuai dengan kebribadiannya dan/atau kepercayaannya. Dari hal tersebut kita dapat mengambil garis lurus “kepribadian/ kepercayaan sesorang dapat di lihat dari buku yang ia baca”.  Namun sekali lagi, jangan menggeneralisasikan hal tersebut pada semua pembaca. Lalu muncullah pertanyaan, “Bagaimana dengan orang yang tidak suka membaca? Apakah itu berarti kita tidak bisa melihat kepribadian/kepercayaannya?”  Terkhusus untuk hal tersebut, saya perlu membaca lebih banyak lagi.


                                                                                         Annisa
                                                                                         Surakarta, 28 Desember 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Masuk angin

Angin tiba tiba menyelinap ke dalam pori memasuki ruang-ruang kosong, menyesaki paru hingga sesak untuk dihembuskan. Menerawang jauh de...