Menepi dari pusaran thesis, saya
sejenak menyisihkan waktu untuk membaca buku di luar topik akademis. Hal ini
saya lakukan untuk charging energi, mengibur jiwa, dan merefleksikan
kejadian-kejadian yang telah saya lalui.
Buku bagi saya bukan hanya
sekedar kumpulan pengetahuan ataupun runtutan informasi, tapi lebih kepada
teman. Teman tidak selalu berwujud manusia, ia dapat berarti apa saja yang
membuat saya tidak merasa sendiri. Hal ini tentu di luar konteks ke-Tuhan-an.
Karena sudah barang tentu kalau sejatinnya kita tak pernah sendiri. Kita selalu
bersama Dzat yang maha hidup, Allah SWT.
Menepi sejenak dari thesis |
Kebanyakan buku yang saya baca
bergenre cerita (novel, cerpen, ataupun kisah-kisah) namun kadangkala saya juga
membaca buku yang berisi kolom-kolom yang membahas tentang fenomena-fenomena
yang terjadi dewasa ini. Setiap kolom
berisi tema yang berbeda-beda bahkan terkadang tema-tema tersebut saling tidak
nyambung. Sebenarnya tidak semua tema
dapat saya pahami maksud/atau pesannya, tapi terkadang saya berusaha untuk
menyelami gaya penulisan yang di alirkan penulis dalam menyampaikan gagasannya,
barangkali berangkat dari hal tersebut, pada akhirnya saya dapat memahami apa
yang tersirat didalamanya.
Pesan yang disampaikan penulis
memang tidak selalu lugas. Penulis sering kali memakai bahasa retorik yang mbulet,
bahasa yang penuh intrik. Inilah yang membuat saya acapkali kesulitan memahami
maknanya, saya butuh waktu untuk
membacanya berulang-ulang 2-3 kali. Ini pula yang menyentil pikiran saya bahwa
membaca bukan lah hal mudah. Padahal membaca sudah saya pelajari sejak taman
kanak-kanak, dan tetap saya pelajari dan lakukan hingga kini.
Menurut saya penggunaan bahasa
retorik itu dimaksudkan untuk memberikan sense yang lebih mendalam
terhadap pesan yang disampaikan. Hal itu dapat menggugah pikiran dan hati
pembaca akan adanya fenomena tersebut. Bukan hal yang tidak mungkin, kalau
penulis sebenarnya ingin menanamkan gagasannya pada si pembaca. Entah gagasan
itu akhirnya tertanam dengan baik atau tidak.
Hal tersebut juga dapat
mengindikasikan bahwa antara penulis dan
pembaca biasanya memiliki ritme pikiran yang relatif sama, meski kita tidak
bisa mengeneralisasikan hal tersebut. Mengapa saya beranggapan seperti itu,
karena pembaca biasanya cenderung memilih bacaan yang sesuai dengan kebribadiannya
dan/atau kepercayaannya. Dari hal tersebut kita dapat mengambil garis lurus
“kepribadian/ kepercayaan sesorang dapat di lihat dari buku yang ia baca”. Namun sekali lagi, jangan menggeneralisasikan
hal tersebut pada semua pembaca. Lalu muncullah pertanyaan, “Bagaimana dengan
orang yang tidak suka membaca? Apakah itu berarti kita tidak bisa melihat
kepribadian/kepercayaannya?” Terkhusus
untuk hal tersebut, saya perlu membaca lebih banyak lagi.
Annisa
Surakarta, 28 Desember 2017
Annisa
Surakarta, 28 Desember 2017