Menulis adalah hal
yang saat ini sedang saya pelajari. saya sadari bahwa menulis sungguh bukanlah hal yang mudah dilakukan. Perlu
menyiapkan begitu banyak bahan bacaan sebagai sumber inspirasi. Bagi saya menulis bukan hanya
sekedar menggoreskan ide ke dalam sebuah media tulis, melainkan sebuah proses
panjang peluruhan pikiran dan
emosi.
Mengapa di sebut sebuah
proses panjang? Sebab, seorang penulis hanya akan bisa menulis ketika ia telah
membaca banyak sumber bacaan atau referensi. Ya, memang tahap awal dari menulis
adalah membaca, kemudian membaca, selanjutnya membaca, dan membaca lagi, baru
kemudian menulis. Inilah yang sedang saya geluti sekarang.
Namun setelah
banyak membaca, justru kebingungan hinggap di ujung kepala, sebenarnya apa yang
hendak saya
tulis? Apa pesan yang hendak dibagikan? Apa manfaat yang kan di dapatkan oleh pembaca? Hingga sempat saya
urungkan niat untuk mulai menulis. Hal
yang terus mengusik kedamaian pikiran adalah saya bukanlah seorang yang pandai, juga
berpengetahuan, apalagi memiliki spiritualitas yang bagus. Tapi ketidakpandaian ini akan terus menjadi bumerang
bagi diri jika roh dan jasad ini tak menghentikannya. Sempat terbersit dalam awangan pikiran, mengapa
Allah memilihkan jalan ini? Mengapa sampai di pulau ini? Mengapa terus
melanjutkan studi? Apa yang hendak kucapai? Apa yang sudah ku bagi?
Ya.. pertanyaan “mengapa?,
apa?” adalah pertanyaan pamungkas yang terus bergejolak dalam benak
manusia apabila
logika sudah tak mampu menjawab secara rasional. Sayapun menyadari nya. Menyelami waktu sembari
terus mencari jawaban dengan semampu
diri. Entah hidup dengan cara seperti apa diri ini, pun sampai sekarang tak pernah tak tahu namanya.
Melompat dari
pertanyaan “mengapa?, apa?”.
Akhir-akhir ini saya lebih senang membaca buku-buku cerita, entah itu novel, cerita pendek,
kisah para sahabat nabi, biografi, dan jenis cerita lain. Mungkin karena libur
telah tiba, pikiranku jadi sedikit menghindar dari bacaan yang beraroma
akademik.
Tapi lebih dari
itu, menurut hemat saya buku cerita
memiliki pesan yang lebih mudah di ingat dan berkesan di benak para pembaca.
Hal inilah yang saya alami saai ini, sepertinya diri
ini telah terkena candu buku cerita.
Saya sempat mengingat perkataan dosen saya dulu mengenai kehidupan yang tersusun dari unsur cerita. Bahwa setiap
harinya, waktu kita habiskan untuk bercerita dan mendengarkan cerita, bahkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an pun banyak
berisi cerita. Ya kira-kira seperti itulah perkataannya. Sunggung dosen yang
sangat saya kagumi karena keluhuran budinya, kebaikan hatinya, kedisiplinannya,
kekayaan ilmunya, semoa keberkahan terlimpah untukmu ‘ Mr.’.
Saya sendiri merasa bahwa cerita memiliki magic
dalam mengubah pola pikir manusia. Sebut saja dongeng, banyak dari orang tua
kita yang sengaja menceritakan dongeng kepada anaknya untuk membentuk akhlak dan moral. Saya juga terkadang merasa
ada perubahan yang berbeda dalam diri setelah membaca buku cerita... atau ini
hanya syndrom sesaat saja?
Buku terakhir yang
usai ku baca bulan ini adalah novel berjudul Rindu karya Tere Liye.
Mungkin saya
termasuk orang yang out of date karena
baru membaca buku itu di awal tahun 2017, padahal buku itu sudah terbit sejak tahun 2014. Tapi tak
apalah, toh pesan yang di sampaikan pun tak berubah meskipun sudah beraganti
tahun.
Sedikit banyak saya terinspirasi dari buku tersebut, banyak sekali
hal menarik yang baru ku ketahui. Sungguh bebalnya otakku, bodohnya diriku, kenapa
baru mengetahui hal-hal itu sekarang. Dan diantara sekian banyak pesan yang tertuang
dalam buku Rindu, ada beberapa hal yang saya ingat diantaranya tentang cinta dan kebencian.
“ cinta itu
ibarat bibit tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk
pemahaman yang baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi
pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah yang
kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek, maka tumbuhlah
dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”
“berhentilah
membenci orang lain, karena kau sedang membenci dirimu sendiri. Berikanlah maaf
karena kau berhak atas kedamaian dalam hati. Tutup lembaran lama yang penuh
coretan keliru, bukalah lembaran baru.”
Sebenarnya bagi
kita, hal-hal itu sudah kita ketahui, namun esensi makna dari untaian kata
tersebut cenderung di kesampingkan.
Padahal jika kita meresapinya, akan ada perubahan perilaku yang terjadi pada
diri kita. Hal ini terjadi karena paradigma (belief) dalam otak kita telah berubah bahwa cinta adalah.... dan benci
itu... dengan berubahnya paradigma maka akan berubah pula sikap kita. “setidaknya
itu yang saya pelajari dari teori behaviorisme”.
Berangkat dari hal
itulah, saya mulai memberanikan diri untuk menulis cerita. Alhamdulillah sudah
selesai prototype dari satu bagian cerita yang telah saya tulis, kurang lebih
sekitar 6 halaman. Cerita yang baru saya
tuliskan pastinya jauh dari kata “bagus” apalagi “sempurna”, tapi saya sangat berharap,
semangat untuk menulis tidak akan
berkurang, atau bahkan luntur. Semoga tulisan-tulisan itu terus menggunung
hingga akhirnya selesai 1 jilid. Paling tidak tulisan tersebut bisa memuat uneg-uneg yang selama ini membumbung
di atas kepala dan mengendap di dalam hati...
Bismillahirrohmannirrohim.
Ku niatkan diri ini untuk menulis ya Rab.