Kamis, 28 September 2017

Amazing Words




Joke is something entertaining
Necessity of human being
Relaxing and not threatening

Joke is a group of word
Sometimes it sounds absurd
But it still divert

Joke is an expression
Appears because of emotion
Looks like people’s opinion

Joke is not a verse or poetry
It’s just words that works amazingly

                                                           Surakarta, 28 September 2017

Rabu, 27 September 2017

Sangkaan yang Salah dan Rencana Tuhan yang Indah

Tak pernah ku sangka bahwa apa yang Tuhan rencanakan itu selalu membuatku takjub.  Memang benar adanya firman Tuhan itu "...boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 216). Diri ini baru benar-benar sadar ketika hal tersebut terjadi pandaku. Hal ini bermula ketika diriku menyusun tugas akhir. Awal perjalanan, aku sudah sangat yakin bahwa topik penelitian ini akan mudah untuk diteliti. Mulanya, aku mengumpulkan banyak sumber- sumber ilmiah yang kiranya dapat mendukung topikku. Setelah dirasa cukup banyak membaca, aku mulai menduga ada ketidakcocokan antara satu tema dengan tema yang lain. Tidak lekas menyerah, aku terus saja mengumpulkan sumber-sumber lain yang dapat mementahkah dugaanku. Tapi apalah daya, memang tema ini tidaklah pas pada subjek penelitianku. aku yang memaksakan adanya kecocokan itu. 

Sejak itulah aku mulai berganti topik penelitian. Hari- hari terus saja ku lewati dengan acanya yang monoton yaitu bertatap pandang dengan si muka lebar alias laptop. Terus saja kupandangi dia hingga mata ku sendiri yang lelah. Duduk di sudut sebuah ruangan kampus yang ramai tak membuatku bergeming. Kuabaikan semua yang ada dengan hanya berfokus pada satu titik cahaya. Cahaya yang keluar dari benda kotak tak benyawa. bisa dikatakan bahwa akhir-akhir ini banyak waktu kuhabiskan untuk bercengkrama dengannya. Kuanggap saja dia sebagai teman perjalanan dan penjuangan sehingga rasa bosan tak akan hinggap dengan mudahnya. Kurang lebih dua minggu waktu ku habiskan untuk mengumpulkan reference. Selama waktu itu, terhitung tiga kali aku berganti topik penelitian. Bisa dikatakan aq ini peneliti labil (semoga bukan peneliti gadungan). Setelah dirasa cukup, mulailah aku memberanikan diri untuk menemui sang counselor. Ku temuinya di hari kamis 7 sep 2*** di sore hari sekirar pukul 16.30.  Sekitar 15 menit berlalu, pulanglah aku dengan gontai. Sedih dan senang bercampur bak adonan yang telah siap diuleni. Bibirku menyunggingkan senyum, namun air muka ku berkata lain.

Sesampainya di penginapan, ku runtut lagi kejadian 15 menit yang berharga itu, semua adegan berkelebatan dalam pikiran. Tak terima dengan kenyataan, aku mulai membandingakan nasib diriku dengan nasib temanku. muncullah ungkapan "mengapa dia selalu dimudahkan, tapi tidak dengan aku". Aku merasa sepertinya tuhan tidak berpihak padaku. Diriku memang tak pandai bersyukur. Seharusnya ku syukuri apa yang telah terjadi pada menit itu, bahwa ada hal baik yang aku dapatkan, meskipun ada hal lain yang menggoyahkan pikiranku. Yah, aku diminta untuk menganti redaksi dari topik penelitian yang otomatis membuatku  mengganti pula beberapa reference yang telah dua minggu ku kumpulkan. Mungkin dua minggu adalah waktu yang cukup singkat. Tapi bagi pada pemburu sepertiku, waktu dua minggu adalah waktu yang sangat berharga. waktu yang seharusnya sudah ku gunakan untuk rencana-rencana lain. Tapi apalah daya, takdir berkata bahwa aku harus banyak belajar lagi. Kali ini nasib baik memang tidak berada di pihak ku. Hal lain yang membuatku agak gusar adalah, aku harus segera menemukan subjek penelitian dan membangun komunikasi yang baik dengan collaborator. Sebenarnya ini mudah saja. Aku tinggal pergi  ke sekolah dan meminta izin untuk melakukan penelitian. Tapi bagi seorang introvert, itu hal yang sangat menyulitkan, mengingat aku bukanlah seorang komunikator yang baik. Aku lebih suka menggunakan bahasa tulis daripada bahasa lisan. Aku tak pandai merangkai kata. Lidahku kelu ketika dituntun untuk bicara.

Tak ingin membuang waktu dan hanya terus berandai-andai, langsung saja ku sentuh layar, mencari informasi-informasi tentang sekolah yang kiranya welcome untuk dilakukan penelitian. Setelah seharian berkontak dengan teman-teman, aku tak mendapatkan juga sekolah yang dituju. Hingga malam hari pun aku juga belum mendapat balasan dari orang yang menjadi harapanku. Bahkan aku telah berburuk sangka padanya. Aku beranggapan bahwa ia tak mau membalas pesan ku. Maklumlah,,, aku telah mengontaknya lebih dari dua kali dengan aplikasi yang berbeda. Kepalaku ini rasanya penuh dengan dugaan. Tak kusangka, di waktu fajar, berderinglah ponselku. Ku baca dengan gugup dan sambil tersenyum. Sebuah pesan dari orang itu. orang yang ku tunggu. Yah, meskipun jawabannya tak sesuai dengan harapan, tapi setidaknya aku sudah punya sedikit pencerahan. 

Pagi itu aku memutuskan untuk mengurus segala hal surat menyurat. mulai dari ngedit, ngeprint, hingga meminta tanda tangan dosen. Semua kulakukan dengan begitu semangat. Kebetulan hari itu adalah hari Sabtu yang artinya kantor tutup, maka ku putuskan untuk meminta stempel di hari Senin. Tepat di hari Senin pagi pukul 08.00 aku meluncur ke kampus untuk menyelesaikan keperluanku. Tak butuh waktu lama, urusan surat-menyurat pun selesai. Aku langsung tancap gas ke sekolah yang dituju. Alhamdulillah tak seperti bayanganku, semua berjalan baik. Bertemu kepala sekolah yang baik dan langsung direkomendasikan ke guru yang bersangkutan. Aku pun bertemu dengan sang guru dan kemudian aku memperkenalkan diri sambil berbincang tentang keperluanku. Akhirnya aku pamit, setelah sebelumnya kami sepakat untuk melakukan interview di hari yang belum di tentukan.

Hari itupun akhirnya datang juga. Hari dimana kami sepakat untuk wawancara, hari yang telah aku dan ibu guru sepakati. Ya guru itu seorang perempuan. Kami pun berbincang singkat. Singkat mengingat waktu yang terbatas yang dimiliki oleh ibu guru. Beliau malah merekomendasikan guru lain untuk diajak kolaborasi. Hal itu dikarenakan, keadaan siswa yang kurang memungkinkan untuk dijadikan subjek penelitian. "Baiklah saya terima ujian ini" (kata ku dalam hati). Aku pun pulang dengan setengah rasa namun kali ini tetap optimis.

Minggu berikutnya, aku temui counselor ku, berharap ada lampu hijau untuk naik ke tahap selanjutnya. Mau di kata apa, harapanku lagi-lagi manggantung. Naik tidak turun pun tidak. Aku diminta untuk menemui guru rekomendasi itu. Karena menurut beliau, itu penting untuk beberlangsungan status penelitianku. Beliau tak ingin ketika  di tengah jalan aku menemui masalah dengan subjek penelitian. Terus saja wejanan itu terngiang ditelinga ku. Tapi akulah manusia, selalu selalu tak sabar dan ingin yang instan. Aku pikir, aku akan segera masuk ke tahap penulisan, tapi nyatanya aku masih di tangga yang sama. "Apa susahnya bilang ACC", gumamku. Aku terus saja memikirkannya, susah sekali untuk naik ke satu tangga. Padahal aku sudah menyiapkan latar belakang yang sudah semalaman kususun rapi. Aku pun sudah menyiapkan lompatan maut jika aku sudah naik di tangga itu. Mungkin karena tingkat PD yang berlebihan, maka Tuhan pun mengingatkan ku untuk merinduk. Ya aku benar-benar merunduk karena sedih. Lagi dan lagi aku harus bersabar, mendesain ulang pertemuan, meramu kata-kata untuk saling membuka obrolan ke guru rekomendasi itu. sekali lagi ini memang bukanlah masalah yang besar. Tapi kujelaskan sekali lagi, bahwa ini bukan hal yang mudah bagi seorang penyendiri.  Rencana yang sudah aku susun sedemikian rupa, harus balikkan lagi mengikuti pada sekenario Tuhan. 

Hari Rabu, hari dimana aku akan bertemu guru itu, guru yang hanya kukenal namanya. Guru yang selanjutnya akan menjadi partner yang kuharap menyenangkan.  Setelah berkontak beberapa kali, kami memutuskan untuk berbincang pada hari Rabu.  Hari itu aku ingat sekali dangan senyum ramah dari guru itu. dia juga seorang perempuan. Perempuan yang masih muda dan juga good looking. kesan itu cukup membuatku ber positive thinking. "Mungkin ini guru yang dipilihkan Tuhan  untuk jadi partnerku", batinku. Lama kami berbincang sekitar dua jam, aku menemukan kecocokan. "Seru juga ngobrol sama bu ini", lirihku. Sambil ku gali tentang karakternya, ternyata benar alhamdulillah ada kesamaan tipe pada diri kami. Aku pikir kali ini akan berjodoh. Ya tentunya berjodoh dalam hal penelitian. lebih dari itu, aku menemukan keberpedulian dari seorang guru tentang moral-etika dari para siswanya. Perbincangan kami memang bukan hanya sekedar penggalian data penelitian. Tapi lebih dari itu, kami berbincang sampai kepada dampak teknologi bagi moral anak-anak. Kami pun berbincang tentang hal-hal yang berkaitan akhlaq dan sarana untuk manjaga dan memupuknya. sampai beliaupun cerita siapa yang sedang jadi gurunya. Beliau menyebutkan seorang ustadz muda lulusan Kairo yang menurutnya alim dan mengena. Tak ingin kehilangan moment, aku pun mencatat nama itu dalam note ku. Hanan Attaki, itulah nama ustadz tersebut. Perbincangan kami pun selesai dan berujung pada kesepakatan bahwa kami akan bertemu lagi di minggu depan pada hari Selasa untuk observasi kelas. 

Sepulang dari pertemuan tersebut, entah kenapa rasanya ingin saja aku langung mencari video tausiyah ust tersebut di Youtube. tanpa berapa lama, aku pun menemukan banyak video sejenis itu. Langsung saja ku sentuh layar ponsel butut ku untuk kemudian kudengarkan cerita hikmah yang disampaikannya. Tak kusangka, hatiku meleleh juga dengan cerita tersebut. kurasa hati ini basah lagi, setelah sebelumnya terasa kering. Ada saja hal-hal yang mengeda di hati sejak aku mendengan cerita-cerita hikmah itu. Aku telah menemukanmu. Menemukan hal untuk melepas dahaga hati. Jujur, semenjak hidup di perantauan selama 1 tahun belakangan, aku merasa tak banyak hujan yang membasahi hati. Rasanya sulit tersentuh. Rasanya seperti tanah tak mendapat air dan pupuk. Tapi kali ini berbeda. aku merasa bak menemukan hal yang bisa menjadi booster. Ku pikir sejenah, "inikah lika-liku yang Tuhan rencanakan untukku". Inikah yang Tuhan inginkan dariku, agar aku lebih banyak mengingat-Nya, agar aku lebih banyak menyebut-Nya, agar aku lebih dekat dengan-Nya. Dari situ baru aku mengerti, bahwa aku membutuhkan itu dan Tuhan menunjukannya lewat jalan ini.  Semenjak itu, aku selalu berlangganan mendengarkan tausiah si ustadz tukang main. Seperti kata sang ustadz "anak main bukan anak gaul".

Epilog. 
Mungkin cerita ini cerita biasa yang banyak terjadi pada diri manusia. Tapi hal yang membuatku merasa penting adalah hal ihwal "Iman". Percayalah, yakinlah, berimanlah pada Allah, niscaya Ia akan mempermudah urusanmu. Mendekatlah, niscaya Allah akan mendekatimu lebih dari yang kau lakukan. Karena ketika Allah sudah mendekat, maka apapun yang kau minta akan Ia kabulkan. Namun ingatlah, jika beriman maka berimanlah dengan hati dan jika mendekat maka mendekatlah dengan hati.

                                                                                                           Surakarta, 27 September 2017


Masuk angin

Angin tiba tiba menyelinap ke dalam pori memasuki ruang-ruang kosong, menyesaki paru hingga sesak untuk dihembuskan. Menerawang jauh de...